Filsafat Relasi Sosial




Oleh: Ap Lyceum :

"Jika kalian melakukan perbuatan baik (pada ornag lain), sebenarnya kalian melakukan perbuatan baik pada diri kalian sendiri, serta jika kalian melakukan perbuatan jelek ke orang lain, sebenarnya kalian melakukan perbuatan jelek pada diri kalian sendiri (in ahsantum ahsantum li anfusikum, wa in asa'tum fa laha)"

[Al-Isro' ayat 7]

Kepribadian sosial manusia memaksakan tiap individu untuk merajut rekanan satu dengan yang lain. Rekanan sosial yag terikat ditujukan untuk mendapatkan faedah (kesempurnaan) buat tiap individu. Dapat dinyatakan, tidak ada satupun manusia yang dapat mendapatkan kesempurnaannya, baik kesempurnaan material atau kesempurnaan spiritual, tanpa ada kehadiran seseorang.

Manusia perlu pada manusia yang lain untuk mendapatkan kesenangan harta, tahta, turunan serta seksualitas. Juga, manusia perlu manusia lain supaya dia dapat mencicip enaknya pengetahuan, kesucian serta kemuliaan. Seperti seorang murid perlu pada guru untuk mendapatkan pengetahuan, seorang guru juga perlu kedatangan murid untuk kesempurnaan pengetahuannya. Seperti wanita perlu pada lelaki untuk mendapatkan kesucian, lelaki juga perlu kedatangan wanita untuk mendapatkan kemuliaan. Terkait dengan adanya ini, Khajah Thusi mengatakan:

"kapan lelaki mendapatkan kemuliaan jika tidak ada wajah cantik (jamal) seorang wanita? Serta kapan wanita akan mendapatkan kesucian jika tidak ada figur agung (jalal)lelaki".

Pada hakekatnya, kepribadian sosial manusia didasari oleh kepribadian perorangan. Dalam kata lain, kepribadian sosial ialah kepribadian sekunder manusia yang menyembur keluar dari kepribadian primer manusia, yakni kepribadian perorangan. Manusia ialah mahkluk perorangan yang merajut rekanan sosial untuk kebutuhan perorangan. Oleh itu, manusia tidak merajut rekanan dengan manusia yang lain diakuinya cuma datangkan kerugian untuk kerugian.

Tiap manusia tidak sangsi untuk putuskan rekanan dari manusia yang lain diakuinya tidak sedikitpun memberi faedah padanya. Lihatlah, begitu manusia cuma merajut rekanan dengan manusia yang lain datangkan faedah padanya. Serta, lihatlah, begitu rekanan sosial ialah rekanan sama-sama manfaatkan, atau rekanan sama-sama ambil faedah.

Di sini, kemungkinan kita akan berkata sedih, demikian jelek kah manusia yang terus-terusan sama-sama manfaatkan? Demikian egois kah manusia yang membungkus kebutuhan pribadinya dalam frame kebutuhan sosial? Pasti tidak. Rekanan sosial (rekanan sama-sama manfaatkan) bukan hal yang jelek semasa rekanan sosial itu diwujudkan dalam koridor norma sosial. Yaitu, rekanan sama-sama manfaatkan bukan semacam pemanfaatan pabila manusia bukan hanya hanya ambil faedah dari pihak lain, dan juga memberi faedah ke orang lain.

Dalam kata lain, rekanan itu bukan rekanan eksploitatif pabila manusia bukan hanya hanya kuras manusia lain, dan juga isi. Karena, harmonisasi sosial ialah usaha untuk memberi faedah sebanyaknya pada manusia lain, terutamanya faedah signifikan. Serta, pemanfaatan sosial ialah ambil faedah tanpa ada memberikan faedah, atau kuras tanpa ada isi.

Sebelum merajut rekanan sosial, kepribadian perorangan selalu memaksakan manusia untuk menjawab dua pertanyaan; faedah serta bahaya apakah yang akan saya dapatkan bila merajut rekanan dengan dianya, dan faedah serta bahaya apakah yang saya acuhkan pabila saya tidak merajut, atau putuskan rekanan dengan dianya? Manusia akan merajut rekanan dengan manusia lain jika dalam anggapannya faedah yang dia dapatkan dari pihak lain itu semakin besar dari kerugiannya.

Serta, manusia tidak merajut rekanan dengan seseorang jika dalam anggapannya faedah yang dia acuhkan dari pihak lain itu semakin lebih kecil dari kerugian yang akan dia dapatkan. Oleh itu, ialah hal yang lumrah jika seorang berlaku baik ke orang lain dengan keinginan seseorang berlaku baik pada dianya. Juga, seorang tidak melakukan perbuatan jahat pada seseorang supaya seseorang pun tidak berlaku jahat pada dianya. Imam Ali mengatakan:

"perlakukanlah seseorang seperti engkau ingin seseorang memperlakukanmu semacam itu".

Yaitu, bila engkau ingin seseorang melakukan tindakan serasi pada diri kamu, karena itu usahakanlah untuk melakukan tindakan serasi ke orang lain. Serta, bila engkau ingin supaya seseorang tidak melakukan tindakan eksploitatif pada diri kamu, karena itu usahakanlah tidak untuk mengeksploitasi seseorang. Karena, seperti diri kamu yang menyukai harmonisasi serta membenci pemanfaatan, seseorang juga begitu ada.

Dalam filsafat harmonisasi, sikap manusia pada manusia lain dikaji bertambah dalam, dan didasari oleh tendensi yang lain dari hal di atas. Yaitu, kita berlaku baik ke orang lain bukan hanya supaya seseorang berlaku baik pada kita. Juga, kita tidak berlaku jahat ke orang lain bukan hanya supaya seseorang tidak berlaku jahat pada kita.

Dalam filsafat harmonisasi, kita berlaku baik ke orang lain karena kita ingin berlaku baik pada diri sendiri. Begitupun, kita tidak berlaku jahat ke orang lain karena kita tidak mau berlaku jahat pada diri sendiri. Karena, pada hakekatnya, melakukan perbuatan baik ke orang lain ialah melakukan perbuatan baik pada diri kita, menyakiti seseorang ialah menyakiti diri kita. Inti ini disyaratkan Tuhan dalam firman_Nya:

"Jika kalian melakukan perbuatan baik (ke orang lain), sebenarnya kalian melakukan perbuatan baik pada diri kalian sendiri, serta jika kalian melakukan perbuatan jahat, sebenarnya kejahatan itu untuk kalian sendiri (in ahsantum ahsantum li anfusikum, wa in asa'tum fa laha)". (Al-Isro ayat 7)

Pasti, berlaku baik serta jelek pada diri kita dengan berlaku baik serta jelek pada diri seseorang cuma bisa dimengerti oleh mereka yang berpandangan filosofis, atau siapapun yang mengafirmasi kehadiran jiwa yang nonmateri. Faktanya, kebaikan serta terburukan yang disebut ialah dampak baik berbentuk kesempurnaan jiwa (inti diri) serta dampak jelek berbentuk kemunduran inti diri.

Dalam kata lain, saat kita berlaku baik ke orang lain, karena itu dampak tindakan baik itu tidak cuma berlaku ke orang lain, dan juga berpulang pada diri kita yang dengannya inti diri (jiwa) menyempurna. Sebaliknya, saat kita melakukan perbuatan jelek ke orang lain, karena itu dampak tindakan jelek itu tidak cuma diterima oleh seseorang, dan juga berpulang pada diri kita serta selanjutnya turunkan kualitas jiwa.

Dalam Bahasa yang bertambah filosofis disebutkan, salah satunya karena gerak perfeksi serta gerak kemunduran jiwa ialah sikap kita pada seseorang. Atau, dalam Bahasa irfani disebutkan, bentuk malakut kita akan bergerak naik melebihi malaikat serta makin benderang seperti sinar yang jelas pada saat kita memperlakukan seseorang dengan cara serasi. Sebaliknya, bentuk malakut kita akan bergerak turun melebihi binatang ternak serta meredup seperti sinar redup pada saat kita melakukan tindakan eksploitatif ke orang lain.

Kemungkinan, tidak ada orang yang ingin melakukan tindakan baik ke orang lain bila inti dianya makin meredup tiap dia lakukan kebaikan ke orang lain. Serta, kemungkinan, orang-orang akan berlomba-lomba memperlakukan seseorang dengan jelek bila kualitas diri makin benderang tiap dia lakukan terburukan ke orang lain. Maha suci Ia yang membuat skema kausalitas dengan sebagus-baiknya, sampai kebaikan cuma berkaitan dengan kebaikan, serta terburukan cuma berkaitan dengan terburukan.

Hingga pada hakekatnya, perlakuan kita ke orang lain ialah semacam mempertontonkan inti kita ke orang lain. Jika kita melakukan tindakan baik ke orang lain, sebenarnya kita sedang mempertontonkan kualitas kita yang demikian benderang ke orang lain. Serta, jika kita melakukan tindakan jelek ke orang lain, sebenarnya kita sedang mempertontonkan kualitas kita yang demikian meredup ke orang lain. Apa ada orang berakal yang ingin mempertontonkan terburukan serta aib dianya pada publik ramai?

Itu kenapa kita (seharusnya) merasai kebahagiaan berbentuk kesempurnaan jiwa tiap kita menyuntikkan kebahagiaan atau melakukan tindakan serasi ke orang lain, serta merasai kesengsaraan di saat kita menabur duka cita atau melakukan tindakan eksploitatif ke orang lain. Serta, bisa jadi, kita cuma memberi kebahagiaan aksidental berbentuk uang ke orang lain, tetapi dibalik pemberian itu, kita memperoleh kebahagiaan signifikan berbentuk kesempurnaan jiwa (pahala). Bisa jadi juga, kita cuma memberi derita aksidental berbentuk cedera fisik ke orang lain, tetapi dibalik itu, kita mendapatkan kesengsaraan signifikan berbentuk kemunduran jiwa (adzab).

Disini, kita perlu mengucapkan syukur jika masih ada orang yang ingin terima perlakuan baik kita. Kita perlu mengucapkan terima kasih pada "pengemis" yang siap terima pemberian kita. Untuk tuan-rumah, kita perlu mengucapkan terima kasih pada tamu undangan yang siap tiba ke rumah serta melahap jamuan yang kita siapkan. Bukan malah mengharap, apatah lagi memaksakan pengemis serta tamu undangan untuk mengucapkan terima kasih pada kita.

Untuk menggambarkan ini, saya akan menukilkan satu cerita berikut.

Konon, satu saat di siang hari, Sokrates berjumpa dengan seorang yang terlihat susah. Sokrates mendekati orang itu lantas menanyakan tentang kesedihannya,

"kenapa engkau berduka?"

Orang tersebur menjawab,

"beberapa saat lalu, sebelum engkau tiba, ada seorang yang melakukan perbuatan jahat (immoral) kepadaku. Sesudah lakukan kejahatannya padaku, dia juga berlalu tanpa ada mohon maaf".

Dengar aduan orang itu, Sokrates tersenyum manis lantas menentramkan orang itu dengan mengatakan:

"wahai teman dekat, bagaimana perasaanmu waktu engkau menjumpai orang yang demikian kesakitan sebab satu penyakit, apa engkau berduka atau malah berasa iba serta kasihan padanya?"

Orang itu mengatakan secara halus,

"pasti saya berasa iba serta kasihan kepadanya".

Sokrates menimpali,

"lalu kenapa engkau berduka ketika seseorang melakukan perbuatan jahat pada diri kamu? Kenalilah, mereka yang melakukan perbuatan jahat serta immoral ke orang lain ialah beberapa orang yang menanggung derita penyakit jiwa. Harusnya engkau berasa iba serta kasihan padanya, ditambah lagi ketika orang itu malas mohon maaf, yang bermakna dia malas mengobati penyakitnya".

Dari cerita di atas, Sokrates ingin sampaikan satu inti kenyataan sama seperti yang sudah kita berikan awalnya. Yakni, perlakuan baik ke orang lain pada hakekatnya ialah perlakuan baik pada diri kita, serta perlakuan jelek ke orang lain pada hakekatnya ialah perlakuan jelek pada diri kita, tetapi cuma sedikit manusia yang mengetahuinya. Tuhan berfirman dalam kitab-Nya:

"mereka akan menipu Allah serta beberapa orang beriman, walau sebenarnya mereka sedang menipu diri sendiri, serta mereka tidak mengetahuinya(yukhadi'unalloha walladzina amanuu wa ma yakhda'una illa anfusahum, wa ma yasy'urun)". (Al-baqoroh ayat 2)

Biarpun mereka tidak mengetahui serta tidak merasai inti itu, ini bukan bermakna inti itu tidak berlaku pada diri mereka. Karena, inti kenyataan tidak ikuti kesadaran serta pemahaman manusia. Perlakuan baik ke orang lain tetap memberi dampak baik pada jiwa aktornya, baik mereka ketahui atau mungkin tidak, baik mereka rasakan atau mungkin tidak mereka rasakan. Juga, tindakan jelek ke orang lain tetap akn memberi dampak jelek pada jiwa aktornya, baik mereka ketahui atau mungkin tidak, baik mereka rasakan atau tidak.

Satu kali lagi, inti ini cuma diakui oleh mereka yang dapat mempersepsi melebihi batas-batas materi. Hingga, mereka bukan hanya merasai kesenangan serta derita fisik (aksidental0 semata-mata, dan juga merasai kesenangan serta derita jiwa (signifikan). Mereka bukan hanya merasai kesenangan makan-minum semata-mata, atau derita kelaparan serta kehausan semata-mata. Bertambah jauh dari itu, mereka merasai kesenangan jiwa dari pengkhidmatan serta derita jiwa dari pengkhianatan pada manusia lain. Jiwa-jiwa mereka berbahagia setiap saat raga-raga mereka lakukan kebaikan ke orang lain, serta jiwa-jiwa mereka menanggung derita setiap saat raga-raga mereka menyakiti seseorang.


Wallahu a'lam


 

Postingan populer dari blog ini

Healthy Lifestyle

the world’s tallest steel-timber hotel to be built at Victoria Square

the same regardless of the architecture